Pages

Tokoh: Rhenald Kasali

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rhenald Kasali
Rhenald Kasali

Lahir 13 Agustus 1960 (umur 51)
Bendera Indonesia Jakarta, Indonesia
Pekerjaan Guru Besar FEUI
Rhenald Kasali (lahir di Jakarta, 13 Agustus 1960; umur 51 tahun[1]) adalah akademisi dan praktisi bisnis asal Indonesia.[2] Ia juga merupakan guru besar bidang Ilmu manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.[1] Rhenald Kasali dikukuhkan sebagai guru besar pada 4 Juli 2009.[3]

Sekedar share hasil copas yang semoga bisa bermanfaat...

Pendidikan Sebenarnya

by Prof Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI) http://id.wikipedia.org/wiki/Rhenald_Kasali

LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali,sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,”lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian. *

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru,sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Karier dan Kehidupan

Rhenald Kasali adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi universitas tersebut.[4] Selain bergerak sebagai akademisi, pria bergelar Ph. D. dari University of Illinois ini juga produktif menulis.[2] Buku-buku yang ditulisnya selalu menjadi perhatian kalangan bisnis dan dikoleksi oleh banyak dan hampir semua bukunya best sellermahasiswa.[2]
Berikut beberapa buku yang telah ditulis Prof. Rhenald Kasali .[5]
  • Sembilan Fenomena Bisnis - 1997
  • Membidik Pasar Indonesia: Segmentasi, Targeting dan Positioning, Gramedia Pustaka Utama (1998)
  • Sembari Minum Kopi Politiking di Panggung Bisnis, Gramedia Pustaka Utama
  • Sukses Melakukan Presentasi, Gramedia Pustaka Utama (2001)
  • Change!, Gramedia Pustaka Utama (2005)
  • Recode Your Change DNA, Gramedia Pustaka Utama (2007)
  • Mutasi DNA Powerhouse, Gramedia Pustaka Utama (2008)
  • Wirausaha Muda Mandiri, Gramedia Pustaka Utama (2010)
  • Myelin: Mobilisasi intengibles sebagai kekuatan perubahan, Gramedia Pustaka Utama (2010). Buku ini menjadi rujukan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia
  • Cracking Zone, Gramedia Pustaka Utama (2011)
Selain mengajar di Universitas Indonesia, ia juga menjadi dosen terbang di Program Magister Manajemen Universitas Sam Ratulangi, Universitas Tanjung Pura, Universitas Udayana, dan Universitas Lampung.[4]

Penghargaan

Atas kerja kerasnya, Rhenald mendapatkan beberap penghargaan sebagai berikut[6].
  • Mendapat Piagam Penghargaan Satya Lencana Karya Satya 10 tahun dari Presiden Republik Indonesia , Piagam No. 112451/4-22/2004
  • Mendapat Penghargaan "KREATIVITAS" di bidang Pendidikan dari Yayasan Pengembangan Kreativitas, Yayasan Pengembangan Kreatifitas , Surat No. 46/SK-YPK/IV/2005
  • Mendapat Piagam Penghargaan dari Rektor Universitas Indonesia sebagai Penulis Buku , UI , Piagam Penghargan Rektor UI tgl. 9 Mei 2005
  • Alice & Charlote Biester Award (1995)
  • Dosen Terbaik, FEUI (2003)

Guru Besar

Pada 4 Juli 2009, Rhenald dinobatkan menjadi guru besar Ilmu Manajemen di Universtas Indonesia[3]. Saat pengukuhannya sebagai guru besar, Rhenald membawakan orasi ilmiah berjudul "Keluar dari Krisis: Membangun Kekuatan Baru Melalui Core Belief dan Tata Nilai"[3].

Pemikiran

Bagi Rhenald, bisnis adalah perihal membuat sesuatu menjadi hal yang luar biasa, itulah bisnis.[rujukan?] Dalam pengembangkan bisnis, ia menegaskan bahwa pola pikir kewirausahaan (entrepreneurship) diperlukan, bukannya keberuntungan (luck).[7] Rhenald mengatakan bahwa kewirausahaan bukanlah ada sendiri, tetap harus diciptakan.[7]
Baginya, keberuntungan sebenarnya adalah ketika kesempatan bertemu dengan persiapan.[rujukan?] Artinya, keberuntungan sendiri tampaknya mempunyai sifat yang sama dengan kewirausahaan yang pada dasarnya “diciptakan”.[7] Keberuntungan tidak akan datang dengan sendirinya.[7] Keberuntungan ada karena ada usaha sebelumnya.[7] Dari sinilah dapat dipahami betapa pentingnya latihan yang terus menerus dan pantang menyerah oleh mereka yang ingin terjun dalam dunia bisnis.[7]
Akan tetapi, seorang wirausahawan (entrepreneur) harus melakukan reinvestasi.[rujukan?] Baginya, tujuan orang berwirausaha bukan untuk menjadi kaya, karena kaya hanyalah akibat.[7] Rhenadl menyatakan bahwa seorang wirausahawan yang hanya menjadikan kekayaan sebagai tujuan utama dalam berwirausaha adalah bentuk pengkhiatan terhadap kewirausahaan.[7]
Dalam buku terbarunya, Myelin: Mobilisasi Intengibles sebagai Kekuatan Perubahan (Gramedia Pustaka Utama, 2010)Rhenald menyatakan bahwa myelin (muscle memory) sebagai faktor penting untuk menjembatani gagasan yang dihasilkan "brain memory" bisa sampai di tujuan dengan "mengendarai" myelin yang terlatih.[rujukan?] Artinya, tidak ada keraguan atas kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.[8] Sebagai contoh, sudah banyak anak-anak Indonesia yang memenangi olimpiade fisika atau matematika dunia.[9] Namun, Rhenald menegaskan bahwa pengetahuan saja tidaklah cukup untuk meraih kesuksesan.[9] Kunci kesuksesan adalah terus berlatih.[9] Semakin sering berlatih maka jaminan untuk sukses semakin nyata.[9]


Harap diambil hikmahnya saja :)

0 komentar:

Posting Komentar